
Akurasi, Nasional. Senin, 29 Januari 2024, Rupiah, mata uang Indonesia, kembali mengalami pelemahan mendekati level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (26/1), rupiah ditutup di level Rp 15.825 per dolar AS. Meskipun mengalami penguatan tipis 0,01% secara harian, namun dalam sepekan, rupiah melemah sekitar 1,34%.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelemahan Rupiah
Analisis para ahli mata uang menyoroti beberapa faktor yang menjadi penyebab pelemahan rupiah, salah satunya adalah ekspektasi pemangkasan suku bunga AS. Probabilitas penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) pada bulan Maret 2024 menurun di bawah 50%, menciptakan ketidakpastian di pasar mata uang global. Kondisi ini menciptakan narasi bahwa suku bunga tinggi di AS akan bertahan lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya.
“Rupiah hari ini berpeluang melemah ke arah Rp 15.850 per dolar AS, dengan potensi support di kisaran Rp 15.780 per dolar AS hari ini,” kata Ariston Tjendra, seorang pengamat pasar uang.
Dalam konteks ini, kebijakan The Fed memiliki dampak langsung terhadap mata uang emerging market seperti rupiah. Penguatan dolar AS dan ekspektasi suku bunga yang lebih tinggi di negara maju membuat aset-aset di pasar berkembang menjadi kurang menarik bagi investor, yang cenderung memindahkan portofolionya ke aset-aset yang diperkirakan lebih aman dan memberikan hasil yang lebih tinggi.
Selain itu, kekhawatiran investor dalam negeri terhadap Pilpres 2024 juga ikut memberikan tekanan pada rupiah. Tingginya ketidakpastian politik sehubungan dengan pesta demokrasi tersebut membuat investor cenderung bersikap hati-hati dan melakukan perlindungan terhadap portofolio mereka.
Peran Intervensi Bank Indonesia
Lukman Leong, seorang analis mata uang, menyoroti peran Bank Indonesia (BI) dalam merespons pelemahan rupiah. Intervensi BI dengan melepas dolar AS ke pasar, sesuai dengan tekad kebijakan BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar, dapat mempengaruhi arah pergerakan rupiah. Namun, Leong juga memperingatkan bahwa nilai tukar rupiah dapat menjadi sangat rentan dan dapat dengan mudah menembus level Rp 16.000 per dolar AS jika BI tidak melakukan intervensi secara rutin.
Dalam situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, peran bank sentral menjadi sangat vital. Intervensi BI diharapkan dapat memberikan sinyal positif dan kepercayaan kepada pelaku pasar, serta menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri.
Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia
Pelemahan rupiah bukan hanya menjadi perhatian para pelaku pasar dan investor, tetapi juga berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Apabila rupiah terus melemah, beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:
- Inflasi: Pelemahan rupiah dapat memicu kenaikan harga impor, yang selanjutnya dapat berdampak pada laju inflasi. Kenaikan harga barang impor dapat membuat biaya hidup masyarakat meningkat.
- Utang Luar Negeri: Perusahaan atau pemerintah yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS harus membayar lebih banyak dalam mata uang rupiah. Hal ini dapat meningkatkan tekanan finansial pada pihak yang berutang.
- Suku Bunga: Bank Indonesia mungkin perlu menaikkan suku bunga untuk menjaga daya tarik aset rupiah dan menahan laju inflasi. Namun, kenaikan suku bunga dapat pula membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
- Investasi Asing: Pelemahan rupiah dapat membuat investasi asing menjadi kurang menarik bagi investor asing. Penurunan investasi asing dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Prospek Rupiah ke Depan
Para analis melihat bahwa pergerakan rupiah ke depannya akan sangat tergantung pada sejumlah faktor, termasuk kebijakan moneter The Fed, hasil Pilpres 2024, dan situasi ekonomi global. Ibrahim Assuaibi, Direktur Laba Forexindo Berjangka, menekankan bahwa perekonomian Indonesia dapat mendapatkan dorongan dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), yang biasanya akan meningkatkan konsumsi masyarakat.
Namun, kekhawatiran tetap ada, dan pasar akan terus memantau perkembangan ekonomi global serta langkah-langkah yang diambil oleh bank sentral, termasuk Bank Indonesia, dalam menghadapi dinamika pasar yang tidak pasti.(*)
Editor: Ani