Mengurai Benang Kusut Kultur Senioritas di STIP dan Refleksi dari Tragedi Kematian Putu Satria Ananta Rustika

bisque-mole-706934.hostingersite.com. Jakarta – Tragedi telah terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, yang mengakibatkan kematian Putu Satria Ananta Rustika, taruna berusia 19 tahun. Kejadian mengerikan ini bermula dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seniornya berinisial TRS, berusia 21 tahun, sebuah fenomena yang mempertontonkan sisi kelam kultur senioritas yang masih mengakar di beberapa institusi pendidikan di Indonesia.
Peristiwa ini diungkapkan oleh Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Polisi Gidion Arif Setyawan, yang menyoroti tidak adanya konflik pribadi antara pelaku dan korban sebelumnya. TRS beraksi bukan karena dendam, melainkan dorongan dari sebuah sistem yang telah lama hidup dalam tradisi senioritas. “Kalau ditanya motif, motifnya tadi kehidupan senioritas. Kalau bisa disimpulkan mungkin ada arogansi senioritas,” kata Kombes Gidion.
Kronologi dan Motif
Kronologi yang disampaikan oleh kepolisian mencatat bahwa insiden ini bermula ketika Putu dan empat mahasiswa junior lainnya memasuki sebuah kelas masih dengan pakaian olahraga mereka, suatu hal yang dianggap melanggar aturan tidak tertulis yang dipegang oleh beberapa senior. Menurut TRS, kelakuan junior-junior ini merupakan sebuah pelanggaran serius yang harus ditindak.
Pada saat terakhir sebelum kejadian, TRS bertanya kepada para junior, “Siapa yang paling kuat?” sebagai bentuk tantangan. Putu, yang mungkin berusaha melindungi teman-temannya atau bertindak sebagai ketua, menjawab bahwa dia yang paling kuat. Jawaban ini mungkin telah ditafsirkan sebagai sebuah tantangan atau penghinaan oleh TRS, yang kemudian memicu serangan fatal tersebut.
Respons STIP dan Kementerian Perhubungan
Insiden ini memicu respons cepat dan serius dari pihak STIP dan Kementerian Perhubungan. BPSDMP Kemenhub, yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan, telah membentuk tim investigasi internal untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola pengasuhan yang berlaku di kampus. “Kami telah membentuk Tim Investigasi internal terkait kejadian ini. Tim akan melaksanakan evaluasi, yakni mengambil langkah secara internal terhadap unsur-unsur dan pola pengasuhan pada kampus yang harus dievaluasi sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga peristiwa tindak kekerasan ini tidak terjadi lagi,” ujar Plt Kepala BPSDMP, Subagiyo.
Salah satu langkah konkret yang telah diambil adalah penambahan jumlah pengawas di area kelas, lorong, dan tempat-tempat strategis lainnya. Pemasangan kamera CCTV juga diperluas, terutama di titik-titik yang sebelumnya dianggap blind spot. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dan mencegah tindakan serupa terjadi di masa depan.
Refleksi dan Harapan
Peristiwa tragis ini membuka mata banyak pihak bahwa tindakan berbasis tradisi senioritas bisa berujung pada kekerasan yang tidak hanya mengancam keselamatan tetapi juga nyawa. Institusi pendidikan seperti STIP harus segera mengevaluasi dan mereformasi sistem pengasuhan dan interaksi antarsiswa untuk memastikan bahwa tradisi-tradisi lama yang tidak sehat dapat diubah dan ditinggalkan.
Pendidikan tentang empati, penghormatan terhadap sesama, dan penanganan konflik seharusnya menjadi bagian dari kurikulum dan pembinaan karakter di semua lembaga pendidikan, khususnya yang memiliki sistem kekeluargaan atau senioritas yang kuat. Ini bukan hanya tentang mengubah satu aspek, tetapi tentang transformasi budaya secara keseluruhan yang mendukung pertumbuhan positif dan keamanan semua siswa.
Tragedi kematian Putu Satria Ananta Rustika harus menjadi titik balik untuk STIP dan institusi serupa lainnya untuk melakukan introspeksi dan reformasi mendalam. Kultur senioritas yang tidak dikendalikan jelas-jelas sudah tidak relevan dan hanya akan berpotensi menciptakan lebih banyak korban jika tidak segera diatasi. Kehidupan mahasiswa adalah masa untuk belajar dan tumbuh, bukan untuk bertahan dari teror dan kekerasan.(*)
Penulis: Ani
Editor: Ani